Kereta Api, Belanda, dan Indonesia

Saat ini aku sedang membaca perjalanan hidup Hatta, yang dilahirkan dengan Mohammad Athar, dari sebuah buku trilogi berjudul Untuk Negeriku : Bukittinggi-Rotterdam Lewat Betawi karya Mohammad Hatta sendiri, diterbitkan oleh Kompas tahun 2011. Indonesia adalah negeri yang penuh dengan sejarah. Dan salah satu caraku untuk menikmatinya adalah dengan biografi dan novel, sebab begitu malas ketika harus membuka buku diktat seperti yang kudapat ketika masih duduk di sekolah dasar dan sekolah menengah.

Salah satu keunggulan Indonesia, Indische atau Hindia Belanda pada masa itu, adalah adanya sistem perkeretaapiaan yang mengalahkan benua tempat kereta api didatangkan ke Indonesia. Eropa. Memang, penjajahan Belanda atas Indonesia selama berabad lamanya, meski ada beberapa pendapat bahwa sejarah tentang kolonialisme Belanda atas Indonesia telah diputarbalikkan, telah membawa beberapa dampak bagi infrastruktur dan teknologi transportasi negeri ini. Hingga sekarang masih bisa kita lihat peninggalannya, meski sekadar bangkai atau foto-foto lama yang tersisa di museum-museum yang tersebar nyaris di banyak kota di Indonesia. Jalan Daendels atau yang lebih dikenal dengan Jalur Pantura masih bertahan hingga sekarang, meski pada kenyataannya justru dijadikan ladang bisnis bagi orang-orang yang kantungnya selalu lapar, sehingga meski diperbaiki berkali-kali, jalan di sana selalu saja berlubang dan memakan tidak sedikit korban jiwa. Lihat pula jembatan, rel kereta api, gedung-gedung tua, atau rumah kopel yang banyak dijumpai di dekat perkebunan gula atau kantor-kantor dan stasiun kereta api. Kondisinya masih utuh dan akan berbeda jika kita sebagai pewarisnya bersedia merawatnya.

Beberapa waktu lalu, saya bersama beberapa teman akhwat yang doyan dolan, berkesempatan mengunjungi Lawang Sewu di pusat Kota Semarang. Sebuah gedung yang semula saya kira sebagai kantor pemerintahan bagi koloni Belanda masa itu. Ternyata, Lawang Sewu adalah kantor pusat bagi sistem perkeretaapian di Pulau Jawa. Maka tak heran, jika bangunan yang dikenal memiliki begitu banyak pintu itu berukuran sangat besar dan megah, bahkan jika diukur dari majunya Indonesia masa sekarang. Di dalamnya, disajikan beberapa potret sejarah tentang perkembangan perkeretaapian dari masa ke masa. Sepur, yang berasal dari bahasa Belanda spoor, menjadi moda transportasi jarak jauh dan jarak dekat utama bagi penduduk Indonesia masa itu. Tidak peduli apakah kita kaum pribumi yang dinyinyiri di tanah sendiri ataukah bangsa totok berkulit putih. Semua berhak naik kereta, meski tentu saja akan ada perbedaan pada kelasnya.

Dari cerita yang saya peroleh dari Minke dalam tetralogi Buru-nya Pram dan otobiografi Hatta, Indonesia pernah maju beberapa langkah dibanding negara di Eropa bahkan Amerika dikarenakan kereta apinya. Sekarang kita mengenal trem, BRT atau bus rapid trans, atau metro, yang kesemuanya mirip dengan konsep kereta api yang sudah sejak lama meletupkan asap beledunya di tanah di negeri ini. Kompartemen yang dijadikan penyekat antara kelas I, II, dan III, sekarang tiada bersisa. Padahal saya sejatinya membayangkan betapa enaknya duduk di kursi empuk dalam kompartemen khusus seperti yang ada di film Harry Potter. Keren? Iyalah. Kereta api kelas eksekutif pun sekarang tidak memiliki kompartemen.

Ide cerdas menggunakan kereta api sebagai penghubung antarkota dengan kondisi Indonesia yang berpulau-pulau, menurut saya perlu dilestarikan. Selain tidak ada kemacetan, sistem perkeretaapian di Indonesia sekarang pun sedang ditata. Tiket-tiket dijual dengan murah, jadwal kereta nyaris semuanya sudah tepat waktu, dan kereta api kelas ekonomi sekarang tidak perlu lagi mengalah di tengah jaan dengan kelas bisnis atau eksekutif seperti dulu. Jarak yang sama akan ditempuh dengan waktu yang cenderung lebih cepat dibandingkan ketika kita menggunakan kendaraan pribadi. Meski tetap saja, belum ada yang mengalahkan nyamannya bepergian dengan kendaraan pribadi. Tapi ini tentang keberlanjutan. 

Transportasi massal adalah impian semua orang dan dalam mewujudkan dan mengintegrasikannya pun tidak mudah, jika Anda mau belajar mengenainya secara mendalam. Dalam mata kuliah Perencanaan Tapak dan Studio Perencanaan Kota kemarin, setidaknya saya belajar bahwa setiap desain yang kita keluarkan akan selalu membawa dampak bagi gaya hidup dan cara hidup begitu banyak masyarakat kota, dan ia harus diambil dengan begitu banyak pertimbangan. Rel kereta api tentu tidak bisa dibuat tegak lurus sebagaimana ketika kita membuat perempatan untuk mobil, bus sekalipun. Kejeniusan dan kelicikan kolonial Belanda dalam merencanakan kota-kota di Indonesia, termasuk dalam menjalankan politiknya, membuat saya harus mengakui kehebatan mereka dan berdecak kagum karenanya. Dari sanalah saya berpikir, akan menjadi keputusan yang tepatkah jika saya mengambil S2 tata kota saya di sana? Di negeri yang sempat menanamkan aroma kematian dan menciptakan penderitaan berkepanjangan bagi tanah air ini? Di negeri yang masih sulit menerima Islam dan perempuan berhijab besar? Jika iya, dalam jangka setidaknya 2 tahun ini saya harus mempersiapkan bahasa Belanda saya, atau setidaknya Jerman dan Prancis, karena itu adalah dua negara yang berdekatan dengan Holland. Barangkali jawabannya adalah ya, jika dari sana impian untuk menata Palestina dan Syam secara keseluruhan dapat saya wujudkan kemudian. Allahu’alam.

Kamar. Selasa, 20 Januari 2015

Menikmati bercakap dengan Hatta dan menyaksikan krisis moneter di Jerman yang membuat nilai tukar mata uangnya hanya setara 1/1000 gulden Belanda.

Sayangnya dari jalan-jalan kemarin, hape saya drop, jadi tidak ada dokumentasi berarti yang bisa saya tampilkan dan dibawa pulang.

Leave a comment