Sisa-Sisa Desa

Sisa-sisa kemarau basah pertengahan tahun ini menyiksa kulit juga ternyata. Panasnya bukan main, tapi sedikit tertolong dengan cerahnya langit di atas sana. Beberapa hari berada di jalanan aspal rupanya belum membuat diri terbiasa, lebih-lebih hari ini. Pembangunan kota yang serba-cepat-serba-memburu sampai terkesan kesusu mulai merambah masuk desa lima tahun belakangan. Juga, jalur utama yang sudah saya akrabi sejak bayi dulu semakin penuh dengan lalu lalang kendaraan. Tak cuma sepeda yang mulai takut-takut beraksi di jalan raya. Kendaraan besar sejenis tronton dan truk gandeng pun tak usah ewuh-pekiwuh lewat di depan rumah. Lumrah, wong sudah jalurnya. Resmi, tak melanggap protokoler aturan mana pun –kecuali beban jalan yang umumnya kelewat berat. Toh jalan yang rusak membawa “manfaat” pada anggaran belanja yang menerus turun setiap tahunnya.

Meski begitu, sisa-sisa tradisi desa rupanya masih ada. Belum rela untuk dikenang dalam dongeng orang-orang tua. Tidak menyerah begitu saja meski urbanisasi sudah berbeda gejala. Bukan lagi orangnya yang berpindah dari desa ke kota sebagaimana lazim kita pahami dari materi Sekolah Dasar dulu. Kini, pembangunan ala kotalah yang menyambangi desa. Atas nama pemerataan pembangunan, maka di mana-mana segalanya disamaratakan. Sesuai dengan imbauan luhur nan agung dari forum internasional, yang turun pula ke level nasional sampai lokal, untuk memeratakan akses infrastruktur dan fasilitas sosial demi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Angka kemiskinan dari tahun ke tahun berusaha ditekan, angka kesejahteraan berusaha untuk selalu ditingkatkan. Sedemikian upaya pemerintah dunia untuk ikut andil dalam hanya menyuruh-nyuruh.

Kenangan masa kecil sontak terbang di hadapan saya. Terpampang nyata, begitu Syahrini bilang, ketika di tengah udara yang panas memanggang itu, dengan antrean kendaraan yang merambat, dan pabrik yang mulai menjejali garis langit sepanjang jalan utama Jalan Solo-Purwodadi, dan pengecoran jalan yang baru beberapa bulan ini jadi, seorang kakek yang mulai sepuh usianya, dengan bersahaja dan sederhana khas desa, bersandal jepit, bercelana kolor pendek sedengkul, dengan kaus kerah yang mulai lusuh warnanya, tak jarang kaki para sepuh itu berjalan telanjang di perkerasan aspal; menyeberangkan segerombolan kambing ternaknya. Sayang bukan main laiknya anaknya sendiri. Si cempe, julukan anak kambing yang belum terlalu mantap geraknya, digendong dalam kepitan ketiaknya. Ah, hati saya mencelos. Continue reading “Sisa-Sisa Desa”

Di Kaki Bukit Cibalak

Penulis              : Ahmad Tohari
Tahun terbit      : 1994
Penerbit            : PT Gramedia Pustaka Utama
Identitas buku    : 176 hlm., 18 cm

Adalah Pambudi, pemuda desa yang baik hati sesuai namanya, yang menjadi tokoh utama novel mungil ini, lulusan SMA dan bekerja di koperasi desa. Semboyan anak petani jangan hanya puas hidup sebagai petani sudah menggejala sejak dulu kala. Berlatarkan suasana pembangunan masa Orde Baru –beserta intrik kekuasaan dan politik yang kental, novel singkat ini menegaskan pada pembaca bahwa nilai-nilai kemanusiaan sejatinya tetap hidup dan diinginkan oleh setiap manusia, meski ia justru dibungkam dan dibunuh perlahan untuk kelangsungan hidup pribadi-pribadinya.

Hal itu nampak pada separuh awal cerita dalam novel ini ketika Pambudi –yang baru bekerja tiga bulan di koperasi- suatu hari didatangi oleh Mbok Ralem, yang miskin sekali itu, hendak meminjam padi dan hasil perjualannya akan ia pergunakan untuk pengobatan lehernya yang membengkak beberapa bulan belakangan. Maka, Pambudi harus meminta izin lurah sebab uang yang Mbok Ralem butuhkan sangat banyak, sementara tidak ada sawah yang ia garap.

Begitulah uang dan kekuasaan berkata, Mbok Ralem tidak bisa meminjam bahkan harus mengembalikan dahulu 10 kilogram padi yang dipinjam dua tahun sebelumnya, beserta bunganya. Pambudi, yang hatinya sudah rusuh karena kecurangan di koperasi, memutuskan keluar dan bertekad membantu pengobatan Mbok Ralem dengan tabungannya hingga ia sembuh. Di sinilah kuasa media berkata. Lewat pengumuman di koran dibukalah kesempatan untuk menyumbang. Akhirnya, Mbok Ralem sembuh.

Kebaikan, meski disukai, selalu punya musuh. Pak Lurah yang kadung membongkar rencananya pada Pambudi kalang kabut. Khawatir jika Pambudi membawa kecurangan-kecurangannya ke depan media. Maka, dibuatlah sasus untuk menjatuhkannya.

Kritik Sosial dan Politik

Pemilihan lurah selalu memakan uang yang banyak, di desa, dari zaman dulu dan masih berlangsung hingga sekarang. Kecuali di kota yang mulai menggulirkan sistem barunya, lelang jabatan, dengan kualifikasi tertentu, uang tak begitu banyak dipergunakan untuk gelar lurah.

Pada zaman pembangunan dulu, nuansa KKN memang sangat kental. Meski saya tidak secara langsung merasakannya, cerita Ibu tentang masa kecil saya dan sebelumnya, cukup memberi gambaran persoalan tersebut. Sisanya, Anda masih bisa menyaksikannya di era pasca-reformasi ini.

Biaya besar itu akan membawa akibat yang menyulitkan calon yang menang, apalagi yang kalah. Jadi ada benarnya bila seorang mengatakan bahwa tugas pertama seorang lurah baru adalah menata kembali perekonomian rumah tangganya. Bila usahanya gagal, berarti cikal bakal kesulitas tugas sudah dimulai. Kecurangan lurah biasanya bermula dari ini. (hlm. 15) Continue reading “Di Kaki Bukit Cibalak”

Menjaga Mata

Ibu, anakmu mulai nakal
Ia tidak lagi serius menjaga matanya. Baca sambil tiduran, menatap laptop berjam-jam, menonton TV terlalu dekat, meski jaraknya lebih dari tiga-puluh-senti seperti yang dianjurkan kala dia masih kanak-kanak.

Setiap kacamatanya dilepas, ia rasa minusnya bertambah saja. Apalagi silindernya, membuat huruf yang terbaca menjadi ganda. Semakin lama ia menatap layar, pandangannya akan perlahan membuyar.

Yang seperti itu membuatnya perlahan jadi ‘anti-sosial’. Bagaimana tidak? Dia tidak bisa menatap dengan jelas muka orang-orang di hadapannya yang berjarak lebih dari 10 meter di depan. Hanya dari bahasa tubuh yang ia kenal saja, ia akan tahu siapa yang ada di hadapannya. Bu, bukankah itu berbahaya kalau ternyata justru lelaki sebayanya (atau tidak sebaya) yang ada di hadapannya?

Justru, Bu, anakmu merasa aman karena dia jadi tidak tahu siapa saja lelaki di sekelilingnya. Dia tak hapal bahasa tubuh mereka. Dia cuma tahu mereka lelaki dari celana dan telanjang telapak kakinya. Kecuali pada satu dua yang kadang juga dihiraukannya dengan terlambat.

Tapi Ibu, anakmu belum terlalu nakal. Ia masih bisa membedakan warna putih, juga merah. Ini bulan Agustus bukan? ‘Kan tidak lucu andai mata yang mulai tak sehat itu tak bisa lagi bisa membedakan warna bendera negara kita. Salah-salah, bisa keliru ambil bendera. Juga kuning dan hijau, ia bisa membedakan. Sehingga ia tak sembarang menerobos lampu lalu lintas. Bisa-bisa matanya bisa membawa ia ke penjara.

Oh ya, Ibu…. Mata yang tak ia jaga membuatnya semakin susah membaca tanpa kacamata. Dilepas sedikit saja, maka tulisan di dekatnya harus semakin dibaca lamat-lamat. Jarak bacanya jadi makin dekat. Apakah kau tidak takut, Bu? Jika mata anakmu itu menyulitkan ia membaca anjuran-anjuran agama? Supaya matanya yang tak sehat itu tak serta merta membutakan mata batinnya pula. Pada saat sehat saja, tidak dibaca. Apalagi saat begitu, Bu?

Ah, Ibu…. Adakah kau tahu? Mata anakmu tak lagi terjaga pula dari hal-hal yang tak semestinya. Bisa jadi itu pula yang menjadikan matanya semakin kabur itu karena maksiat-maksiat yang ditontonnya. Apalagi maksiat yang nikmat-nikmat. Dari gelimang dosa di depannya yang dibiarkan saja. Seperti istri Nabi Luth dulu yang diazab bukan karena turut berbuat, namun karena menonton saja maksiat di hadapan matanya?

Oh Ibu, penjara dan neraka karena mata yang tak terjaga.