Hak dan Kewajiban, Harmoni dan Kebutuhan

Bismillah..
Kemarin sore saya penuhi janji kepada ibu untuk membelanjakan beberapa barang toko yang habis di Pasar Legi. Berhubung dari kampus, saya pilih rute melewati depan SMAN 1 Solo. Nah saat tiba di depan RS Muwardi, jalan menjadi macet; seperti biasa. Tak sedikit, termasuk saya, yang akhirnya memilih berbelok ke pedestrian di sebelah kiri jalan untuk secepatnya sampai di antrean kemacetan paling depan. Huh, batin saya, saya ini mahasiswi Perencanaan Wilayah dan Kota. Di kelas saya dipahamkan, atau dicekoki, dengan bahasan seputat isu-isu kota, termasuk macet, dan penyebab-penyebabnya. Dan lagi-lagi, saya menjadi salah satu tersangka atas ketidaktertiban yang dilegalkan dan dipandang biasa. Malu sendiri rasanya /,\

Hak Mereka Makin Terpinggirkan

Sejatinya,  pedestrian adalah hak bagi pesepeda, namun bukan sepeda motor apalagi mobil atau bus. Sayangnya, kondisi yang ada sekarang ini semakin mempersempit ruang bagi pengguna sepeda untuk bersama-sama memenuhi haknya sebagai warga kota dan pengguna jalan raya. Pedestrian dipenuhi pedagang kaki lima, jalan berlubang di kanan kiri, tenda-tenda warung makan semakin rapi berjajar. Ironi, ketika segala aturan tentang mereka sudah disusun dengan dana puluhan juta; fakta di lapangan menggambarkan ketiadaan. Pesepeda, apalagi pejalan kaki, tetap tersisih. Malah makin terpinggir. Mewakili protes mereka yang tak terucap, atas hak mereka yang terus saja diinjak, saya tuliskan kutipan puisi Wiji Thukul tentang rakyat yang tak lagi di dengar.

Rakyat adalah kami
mulut-mulut yang bersuara
mendukungmu
dalam setiap pemilu

rakyat adalah kami
tenaga dari kaki-kaki dan tangan-tangan
yang memikul tandu gambar partaimu
yang bersorak oleh lemparan permen
dan gula-gula janji perbaikan nasib

rakyat adalah kami
usus-usus melilit
perut-perut butuh kenyang
yang kalian sebut-sebut
dalam pidato-pidato kampanyemu

rakyat adalah kami
daun telinga yang mendengar
mata kepala yang bersaksi
:sekarang beras mahal
kini kami tuntut
KALIAN DIMANA?

(Tuntutan, Wiji Thukul)

Memang tak menggambarkan tentang sepeda, barangkali begitulah gambaran hak-hak yang terpinggirkan dan kewajiban (yang katanya) wakil rakyat mangkrak di meja sidang sana, menghamburkan berjuta dana, tapi nol realisasinya. Hak dan kewajiban yang semakin terang benderang ketimpangannya. Hak pejabat dan aparat yang dengan sepenuh daya dipenuhi, namun hak rakyat terus saja digerus ditengah kewajiban-kewajiban yang masih dituntut untuk ditunaikan. Ahai, lucunya negeri ini. Duhaai, malang pulang nasib rakyat ini..

Harmoni dan Kewajiban

Meski hak sebagai warga kota masih belum terpenuhi, harmoni kehidupan mereka tetap berjalan. Dalam tumpukan kendaraan yang menyumbat jalan-jalan protokol Kota Solo, aktivitas-aktivitas setiap elemen warga : tukang becak, murid-murid sekolah, sopir angkot, pedagang, PKL, asongan, pengamen, petugas pengatur jalan, polisi (yang nodong sembarangan), pegawai (necisnya memuakkan), dll yang masih banyak itu; mewarnai harmoni hidupnya kota kecil yang makin ramai ini. Terganggu dengan segala macam kesemrawutan, tapi roda-roda kehidupan terus saja berputar. Anak-anak kecil yang tak lagi punya pekarangan rumah, dengan asyiknya berlarian di jalanan sempit gang-gang tempat tinggal. Pedagang, yang tak lagi mendapat ruang kecuali dengan harga tinggi, menggelar dagangan di tepian jalan pasar, memenuhi pedestrian dengan gerobak-gerobak penuh barang dagangan. Mobil-mobil mewah yang tak mau parkir terlalu jauh, tak berberat hari menitipkan segelondong barang mewah itu pada orang yang tak dikenal dengan harga murah, tukang parkir. Ya, dengan segala ketidaknyamanan yang ada ternyata semua masih bisa berjalan. Menjadi noda besar bagi kami, yang katanya perencana kota ini, untuk membenahi tak lagi hanya fisiknya, namun juga sistem dan manajemen yang menyeluruh; yang tak mengesampingkan sisi manusiawi seorang warga kota yang ingin tinggal dengan nyaman dengan akses dasar yang terbuka lebar.

Manusia memanglah manusia, dengan segala salah yang seringkali dimaklumi. Namun manusia adalah manusia, yang punya bertumpuk-tumpuk potensi untuk memperbaiki dan membangun peradaban. Ada kesalahan yang termaafkan, namun ada juga yang tak bisa begitu saja dibiarkan. Berperanlah kita sebagai manusia, bukan seonggok daging yang menumpang hidup pada manusia lain, lantas menyusahkan atau merepotkan. Jangan. Manusia memang hanya seonggok daging, tapi manusia hidup adalah manusia yang menggunakan hati dan pikirnya untuk membantu dan menyamankan manusia lain.